Hukum Meminum Air Susu Istri
Hukum meminum air susu istri adalah mubah, meminum air susu istri dengan sengaja, sebagaimana mubahnya menelan ludah, keringat, air mata, dan air mani karena tidak ada dalil yang mengharamkan dan tidak termasuk najis. Meminum air susu istri hukumnya mubah, baik untuk kepentingan Istimta’ (bersenang-senang),Tadawi (berobat) atau kepentingan-kepentingan lain yang dibenarkan Syara’ dan tidak ada konsekuensi hukum Rodho’ah/persusuan apapun, kecuali jika suami berusia kurang dari dari 2 (dua) tahun dan meminum minimal lima kali susuan. Jika aktivitas meminum tersebut dilakukan secara tidak sengaja maka lebih jelas lagi kebolehannya.
Air susu wanita termasuk minuman yang halal karena tidak ada dalil yang mengharamkan. Ketiadaan dalil yang mengharamkan ini menjadikan status air susu wanita menjadi minuman yang halal karena termasuk keumuman firman Allah;
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا} [البقرة: 29]
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian (Al-Baqoroh; 29)
Air susu wanita yang dikonsumsi bayi tanpa ada celaan, cukup jelas menunjukkan status kehalalannya. Namun hal ini tidak bisa difahami bahwa air susu wanita hanya halal bagi bayi, karena tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa minuman itu hanya bagi bayi. Juga tidak bisa difahami bahwa air susu wanita hanya boleh dikonsumsi selain bayi dalam kondisi darurat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa air susu wanita hanya boleh dikonsumsi dalam kondisi darurat. Mengkhususkan kebolehan memanfaatkan sesuatu atau membatasinya harus didasarkan dalil.
Air susu wanita juga bukan benda najis sehingga bisa diharamkan mengkonsumsinya dengan alasan kenajisannya. Bahkan, air susu wanita yang telah menjadi mayatpun tetap dihukumi suci. Realitas air susu wanita yang diminum bayi dan dibenarkan syara’ sudah cukup jelas menunjukkan status kesuciannya. Syara’ juga tidak membagi air susu wanita menjadi dua kondisi: Jika diminum bayi statusnya suci, dan jika diminum selain bayi maka statusnya najis. Juga tidak ada pembedaan: Air susu wanita yang masih hidup adalah suci sementara air susu wanita yang telah mati dihkumi najis. Tidak ada pembedaan-pembedaan seperti ini dan tidak ada dalil yang menyatakannya, karena itu status air susu wanita tetap suci karena untuk menyatakan kenajisan sesuatu semuanya harus dinyatakan oleh dalil atau yang ditunjuk oleh dalil.
Oleh karena air susu wanita termasuk benda halal dan bukan benda najis, maka mubah hukumnya jika seorang lelaki meminum air susu dari istrinya sebagaimana mubahnya menelan ludah, keringat, air mata, atau air mani. Meminum air susu wanita hukumnya mubah baik untuk kepentingan Istimta’(bersenang-senang), Tadawi (berobat) atau kepentingan-kepentingan lain yang dibenarkan Syara’. Terkait penggunaan air susu sebagai obat Ibnu Taimiyah berfatwa sebagai berikut;
الفتاوى الكبرى (3/ 162)
أَمَّا غَسْلُ عَيْنَيْهِ بِلَبَنِ امْرَأَتِهِ يَجُوزُ، وَلَا تَحْرُمُ بِذَلِكَ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ
“Adapun mencuci kedua mata dengan memakai air susu istri maka hal ini boleh, hal tersebut tidak membuat istri menjadi mahram (Al-Fatawa Al-Kubro, vol.3, hlm 162)
Jika seorang lelaki meminum air susu istrinya, maka tidak ada konsekuensi hukum Rodho’ah/persusuan apapun, misalnya sang suami statusnya menjadi anak susu dari istrinya, sehingga otomatis pernikahannya harus dibubarkan kerana suami telah menjadi mahromnya. Tidak ada konsekuensi itu, karena agar berlaku hukum-hukum Rodho’ah/persusuan, harus terealisasi dua syarat;
Pertama; Aktivitas menyusu minimal dilakukan lima kali susuan.
Artinya, aktivitas meminum susu yang cuma sedikit, atau cuma sekali-dua kali yang tidak sampai lima kali, tidak dihitung sebagai aktivitas menyusu yang berkonsekuensi hukum. Dalil yang menunjukkan syarat minimal lima kali susuan adalah hadis berikut;
صحيح مسلم (7/ 352)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
dari ‘Aisyah dia berkata: “Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (H.R.Muslim)
Hadis di atas menunjukkan bahwa mulanya jumlah minimal susuan yang berkonsekuensi hukum adalah sepuluh kali susuan. Kemudian hukum ini dinasakh menjadi lima kali susuan, dan berlaku terus hingga kini.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah sepuluh kali susuan, maka pendapat ini telah terbantahkan dengan hadis di atas, karena hadis di atas cukup lugas menjelaskan bahwa syarat minimal sepuluh susuan itu memang berlaku sebelumnya, namun hukum tersebut telah dinasakh sehingga tidak bisa dipakai lagi.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah tidak dibatasi, yakni sedikit atau banyak sudah berkonsekuensi hukum, atau mengatakan: Selama kadarnya sudah cukup membatalkan puasa maka sudah berkonsekuensi hukum, maka pendapat ini tertolak karena bertentangan dengan riwayat yang lugas dari aisyah di atas. Atsar-atsar yang menunjukkan sejumlah Shahabat berpendapat seperti ini lebih utama ditinggalkan karena bertentangan dengan hadis shahih yang lebih dekat difahami sebagai hadis marfu’.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa jumlah minimal persusuan adalah tiga kali susuan dengan mendasarkan pada dalil seperti;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ [سنن أبى داود 5/ 450]
Dari Aisyah r.ha dia berkata, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “satu atau dua susuan tidaklah bisa menjadikan mahram” (H.R.Abu Dawud)
.
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ قَالَتْ دَخَلَ أَعْرَابِيٌّ عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِي فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي كَانَتْ لِي امْرَأَةٌ فَتَزَوَّجْتُ عَلَيْهَا أُخْرَى فَزَعَمَتْ امْرَأَتِي الْأُولَى أَنَّهَا أَرْضَعَتْ امْرَأَتِي الْحُدْثَى رَضْعَةً أَوْ رَضْعَتَيْنِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَالْإِمْلَاجَتَانِ
[صحيح مسلم 7/ 346]
Dari Ummu Al Fadhl dia berkata, seorang arab masuk menemui nabi SAW sementara beliau berada dalam rumahku. Dia berkata, “wahai Nabiyullah, sesungguhnya padaku terdapat seorang wanita, lalu aku menikahinya. Istri pertamaku berkata bahwa dia telah menyusuinya dua kali susuan, maka beliau SAW bersabda,” satu susuan dan dua susuan tidaklah bisa menjadikan mahram”. (H.R.Muslim)
Dalil-dalil ini dan yang semakna dengannya belum kuat dipakai untuk menetapkan jumlah minimal adalah tiga kali susuan, karena maksud hadis di atas adalah menafikan jumlah susuan yang cuma sedikit dan tidak mencapai batas yang ditentukan syara’. Syara’ telah menjelaskan bahwa batasan minimal persusuan adalah lima kali susuan, karena itu Nash yang lugas ini lebih utama untuk dijadikan batasan, karena pemahaman Manthuq (makna ekslpisit) lebih kuat daripada Mafhum (makna implisit).
Jadi, agar berlaku hukum-hukum persusuan, maka jumlah susuan minimal harus lima kali susuan. Selama ini tidak terealisasi, maka hukum Rodho’ah/persusuan tidak berlaku.
Kedua: Yang meminum air susu usianya maksimal 2 (dua) tahun Hijriyyah.
Artinya, jika yang meminum air susu usianya 0- 2 tahun dalam hitungan tahun Hijriyyah, maka berlaku hukum-hukum persusuan. Jika yang meminum air susu tersebut berusia lebih dari dua tahun, maka sudah tidak berlaku lagi hukum persusuan. Syarat maksimal dua tahun ini didasarkan pada ayat berikut;
{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} [البقرة: 233]
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (Al-Baqoroh; 233)
Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa persusuan yang sempurna itu dibatasi hanya sampai dua tahun saja. Hal ini menunjukkan, sesudah dua tahun tidak berlaku lagi hukum persusuan.
Yang menguatkan adalah hadis berikut;
سنن الترمذى (4/ 374)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
dari Umu Salamah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali (susuan) yang membelah usus (mengenyangkan) pada payudara dan terjadi sebelum disapih.” (H.R.At-Tirmidzi)
Dalam hadis ini Rasulullah صلى الله عليه وسلم merangkum syarat persusuan yang berkonsekuensi hukum dalam satu ucapan. Ucapan yang berbunyi;
“kecuali (susuan) yang membelah usus (mengenyangkan)”
Ucapan ini bermakna jumlah air susu yang sedikit tidak mempengaruhi hukum persusuan (misalnya setetes atau dua tetes). Harus terealisai kuantitas tertentu yang disebut Rasulullah صلى الله عليه وسلم sampai “membelah usus”, maksudnya jumlah yg mmpengaruhi pertumbuhan. Dalam Nash yang lain dijelaskan jumlah tersebut minimal 5 (lima) kali susuan.
Ucapan yang berbunyi;
“dan terjadi sebelum disapih“
Ucapan ini menjelaskan waktu menyusu yang diperhitungkn. Nabi mensyaratkan sebelum disapih, maksudnya mulai dari bayi lahir sampai maksimal bayi berusia 2 tahun, karena bayi disapih pada usia dua tahun. Jadi hadis ini menjelaskan dua syarat berlakunya hukum-hukum persusuan yang membuat aktivitas minum susu wanita berkonsekuensi hukum, yaitu: Minimal “membelah usus” (yakni lima kali susuan), dan aktivitas menyusu tersebut dilakukan sebelum masa penyapihan (yakni sebelum usia 2 tahun). Karena itu, hadis ini menguatkan kandungan ayat sebelumnya yang menjelaskan usia maksimal waktu menyusu adalah dua tahun.
Yang menguatkan lagi adalah hadis Bukhari berikut ini;
صحيح البخاري (16/ 51)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ فَكَأَنَّهُ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ كَأَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ فَقَالَتْ إِنَّهُ أَخِي فَقَالَ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ
dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menemuinya, sementara di tempatnya terdapat seorang laki-laki. maka seakan-akan air muka beliau berubah seakan-akan tidak menyukainya, maka Aisyah pun berkata, “Sesungguhnya ia adalah saudaraku.” Maka beliau bersabda: “Lihatlah siapakah saudara-saudara sesusuan kalian, karena susuan itu karena lapar.” (H.R.Bukhari)
Dalam hadis di atas, Rasulullah صلى الله عليه وسلم mensyaratkan bahwa persusuan berkonsekuensi hukum jika aktivitas menyusu tersebut karena rasa lapar. Lafadz ini secara implisit memberi isyarat bahwa hanya aktivitas menyusu anak kecil saja yang berkonsekuensi hukum, karena orang dewasa tidak meminum susu wanita dengan didorong rasa lapar dan hanya anak kecil yang meminum air susu wanita dengan didorong rasa lapar untuk pertumbuhannya. Batasan anak kecil yang dinyatakan Nash adalah sampai usia penyapihan, yakni dua tahun. Karena itu hadis ini menguatkan batasan maksimal usia persusuan yang berkonsekuensi hukum yaitu dua tahun.
Fatwa-fatwa Shahabat juga menguatkan bahwa persusuan yang berkonsekuensi hukum hanyalah berlaku jika yang menyusu masih kecil, bukan orang dewasa. Diantaranya adalah fatwa Ibnu Mas’ud. Abdurrozzaq meriwayatkan;
مصنف عبد الرزاق (7/ 463)
عن ابي عطية الوادعي قال جاء رجل إلى بن مسعود فقال إنها كانت معي امرأتي فحصر لبنها في ثديها فجعلت أمصه ثم أمجه فأتيت أبا موسى فسألته فقال حرمت عليك قال فقام وقمنا معه حتى انتهى إلى أبي موسى فقال ما أفتيت هذا فأخبره بالذي أفتاه فقال بن مسعود وأخذ بيد الرجل أرضيعا ترى هذا إنما الرضاع ما أنبت اللحم والدم فقال أبو موسى لا تسألوني عن شيء ما كان هذا الحبر بين أظهركم
“Dari Abu ‘Athiyyah Al-Wada’iy beliau berkata; Seorang lelaki datang kepada Abdullah bin Mas’ud. Dia berkata: Aku bersama istriku, lalu air susunya pada payudaranya tertahan. Maka akupun menghisapnya, kemudian aku memuntahkannya. Lalu aku mendatangi Abu Musa dan aku menanyainya. Maka beliau berfatwa; Istrimu telah menjadi Mahrammu. Maka Ibnu Mas’ud bangkit dan kamipun bangkit bersamanya hingga mendatangi Abu Musa. Lalu Ibnu Mas’ud bertanya; Apa yang engkau fatwakan kepada orang ini? Maka Abu Musa memberitahu Ibnu Mas’ud apa yang telah difatwakannya. Maka ibnu Mas’ud berkata sambil menggamit tangan lelaki yang bertanya tadi: Apakah engkau memandang lelaki ini seperti bayi yang menyusu? Persusuan itu hanyalah yang menumbuhkan daging dan darah. Maka Abu Musa berkata: Janganlah kalian menanyai aku tentang sesuatu selama orang alim ini masih di tengah-tengah kalian (H.R.Abdurrozzaq)
Ibnu Mas’ud juga berkata sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud;
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَا رِضَاعَ إِلَّا مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ [سنن أبى داود 5/ 445]
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, “tidak ada (hukum) persusuan kecuali susuan yang mengokohkan tulang dan menumbuhkan daging”.
Termasuk pula Ibnu Umar. Malik meriwayatkan;
موطأ مالك – مكنز (4/ 228، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ لاَ رَضَاعَةَ إِلاَّ لِمَنْ أُرْضِعَ فِى الصِّغَرِ وَلاَ رَضَاعَةَ لِكَبِيرٍ.
dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bagi yang disusui sewaktu kecil. Tidak ada hukum penyusuan bagi orang yang sudah dewasa.” (H.R.Malik)
Termasuk pula Umar bin Khattab. Malik meriwayatkan;
موطأ مالك – مكنز (4/ 237، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَأَنَا مَعَهُ عِنْدَ دَارِ الْقَضَاءِ يَسْأَلُهُ عَنْ رَضَاعَةِ الْكَبِيرِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى كَانَتْ لِى وَلِيدَةٌ وَكُنْتُ أَطَؤُهَا فَعَمَدَتِ امْرَأَتِى إِلَيْهَا فَأَرْضَعَتْهَا فَدَخَلْتُ عَلَيْهَا فَقَالَتْ دُونَكَ فَقَدْ وَاللَّهِ أَرْضَعْتُهَا. فَقَالَ عُمَرُ أَوْجِعْهَا وَأْتِ جَارِيتَكَ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ رَضَاعَةُ الصَّغِيرِ
dari Abdullah bin Dinar berkata; “Ketika saya bersama Abdullah bin Umar di Kantor Pengadilan, ada seorang lelaki yang mendatanginya dan bertanya mengenai hukum menyusui orang dewasa. Abdullah bin Umar lalu menjawab; ‘Suatu ketika ada seorang lelaki mendatangi Umar bin Khattab dan berkata; ‘Saya memiliki seorang budak wanita yang selalu saya setubuhi, lalu isteriku dengan sengaja menyusui budak wanita tersebut. Maka ketika aku ingin menyetubuhi budak itu isteriku berkata; ‘Jangan kau lakukan, demi Allah aku telah menyusuinya’?” Lantas Umar berkata; ‘Hukumlah isterimu dan gaulilah budak perempuanmu, sebab persusuan itu untuk yang masih kecil.” (H.R. Malik)
Diriwayatkan bahwa pendapat meminum air susu wanita hanya berkonsekuensi hukum jika dilakukan oleh anak kecil adalah pendapat Umar, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, istri-istri Nabi (selain Aisyah), Asy-Sya’by, Ibnu Syubrumah, Al-Auza’y, Asy-Syafi’y, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur, dan Malik dalam satu riwayat. Menurut Ibnu Qudamah, pendapat ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu. Dalam Al-Mughni dinyatakan;
المغني (18/ 82)
فَإِنَّ مِنْ شَرْطِ تَحْرِيمِ الرَّضَاعِ أَنْ يَكُونَ فِي الْحَوْلَيْنِ وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ
“Diantara syarat pengharaman persusuan adalah di masa dua tahun. Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu (Al-Mughni, vol 18, hlm 82)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa waktu maksimalnya bukan dua tahun, tapi 30 bulan (dua tahun enam bulan), maka pendapat ini didasarkan pada pemahaman ayat berikut;
{وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15]
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (Al-Ahqof; 15)
Yakni dengan memahami Haml dalam ayat tersebut bukan bermakna hamil, tetapi bermakna menggendong (mengasuh). Dengan pemahaman ini, berarti masa penyusuan sampai penyapihan memakan waktu tiga puluh bulan, bukan 2 tahun.
Catatan atas pendapat ini adalah: Makna Haml dalam ayat tersebut bermakan hamil, bukan menggendong. Karena jika diterjemahkan selain hamil maka maknanya akan bertentangan dengan ayat dalam surat Luqman berikut;
{ وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ } [لقمان: 14]
dan Aku perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun (Luqman; 14)
Dalam surat Al-Ahqof dijelaskan waktu penyapihannya adalah 30 bulan, sementara dalam surat Luqman dijelaskan waktu penyapihannya adalah dua tahun. Ini adalah kontradiktif. Karena itu lebih tepat memahami haml dalam surat Al-Ahqof di atas dengan makna hamil, sehingga bisa difahami waktu minimal hamil adalah 6 bulan, jika masa persusuannya dua tahun.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas termasuk yang memahami Haml dalam ayat di atas dengan makna hamil. Dalam Tafsir Al-Qurthuby dinyatakan;
تفسير القرطبي (16/ 193)
قال ابن عباس: إذا حملت تسعة أشهر أرضعت إحدى وعشرين شهرا، وإن حملت ستة أشهر أرضعت أربعة وعشرين شهرا
Ibnu Abbas berkata; Jika wanita mengandung 9 bulan, maka dia menyusui 21 bulan. Jika dia mengandung 6 bulan maka dia menyusui 24 bulan (Tafsir Al-Qurthuby, vol.16, hlm 193)
Demikian pula pemahaman Ali bin Abi Thalib. Dalam Tafsir Al-Qurthuby dinyatakan;
تفسير القرطبي (16/ 193)
روي أن عثمان قد أتي بامرأة قد ولدت لستة أشهر، فأراد أن يقضي عليها بالحد، فقال له علي رضي الله عنه: ليس ذلك عليها، قال الله تعالى: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً} وقال تعالى: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ} [البقرة: 233] فالرضاع أربعة وعشرون شهرا والحمل ستة أشهر، فرجع عثمان عن قول ولم يحدها
“Diriwayatkan bahwa Utsman dilapori seorang wanita yang melahirkan padahal usia kehamilannya hanya enam bulan. Maka beliau ingin menghukumnya dengan Hadd. Maka Ali berkata: Dia tidak seharusnya dihukum. Allah berfirman; Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (Al-Ahqof; 15) dan juga berfirman: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (Al-Baqoroh; 233). Jadi, masa persusuan adalah 24 bulan, masa kehamilan bisa hanya 6 bulan”. Maka Utsmanpun mengoreksi pendapatnya dan tidak menghukumnya. (Tafsir Al-Qurthuby, vol.16, hlm 193)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa waktu maksimalnya adalah tiga tahun, maka pendapat ini lebih sulit dipertimbangkan karena tidak ditemukannya dalil yang menjadi dasar.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada waktu maksimal, artinya hukum persusuan tetap berlaku baik yang meminum air susu adalah bayi dibawah dua tahun maupun di atasnya, bahkan masih tetap berlaku meski sudah dewasa, maka pendapat ini didasarkan pada hadis Sahlah binti Suhail berikut ini;
صحيح مسلم (7/ 355)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرَى فِي وَجْهِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْ دُخُولِ سَالِمٍ وَهُوَ حَلِيفُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ قَالَتْ وَكَيْفَ أُرْضِعُهُ وَهُوَ رَجُلٌ كَبِيرٌ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيرٌ زَادَ عَمْرٌو فِي حَدِيثِهِ وَكَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ أَبِي عُمَرَ فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
dari Aisyah dia berkata; Sahlah binti Suhail datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya melihat di wajah Abu Hudzaifah (ada ketidaksukaan) karena keluar masuknya Salim ke rumah, padahal dia adalah pelayannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Susuilah dia.” Dia (Sahlah) berkata; “Bagaimana mungkin saya menyusuinya, padahal dia telah dewasa?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum sambil bersabda: “Sungguh saya telah mengetahuinya kalau dia telah dewasa.” Dalam haditsnya ‘Amru menambahkan; Bahwa dia telah ikut serta dalam perang Badr. Dan dalam riwayatnya Ibnu Abu Umar lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa. (H.R.Muslim)
Lafadz lain riwayat muslim berbunyi;
صحيح مسلم (7/ 358)
عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ لِعَائِشَةَ إِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْكِ الْغُلَامُ الْأَيْفَعُ الَّذِي مَا أُحِبُّ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيَّ قَالَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ أَمَا لَكِ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُسْوَةٌ قَالَتْ إِنَّ امْرَأَةَ أَبِي حُذَيْفَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ سَالِمًا يَدْخُلُ عَلَيَّ وَهُوَ رَجُلٌ وَفِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْهُ شَيْءٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ
dari Zainab binti Ummu Salamah dia berkata; Ummu Salamah berkata kepada Aisyah; Kenapa laki-laki yang sudah baligh itu bebas masuk ke rumahmu, yang saya tidak suka jika dia masuk ke rumahku? (Humaid) berkata; Maka Aisyah menjawab; Kenapa kamu tidak mengambil teladan dari diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Dia melanjutkan; Sesungguhnya istri Abu Hudzaifah berkata; Wahai Rasulullah, Sesungguhnya Salim sering masuk (kerumahku) padahal dia (telah baligh) layaknya seorang laki-laki? (saya khawatir) jika pada diri Abu Hudzaifah ada sesuatu? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Susuilah, supaya dia boleh menemuimu.” (H.R.Muslim)
Dalam hadis-hadis ini dan hadis yang semakna dengannya dikisahkan bahwa Salim menyusu pada Sahlah binti Suhail atas perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم , padahal Salim waktu itu sudah dewasa. Hal ini menunjukkan, tidak ada waktu maksimal untuk membuat hukum-hukum persusuan berlaku. Artinya, orang dewasapun, jika meminum air susu wanita maka wanita tersebut menjadi ibu susunya sehingga berlaku hukum kemahroman karena susu dan berlaku hukum-hukum persusuan lainnya.
Jawaban atas pendapat ini adalah sebagai berikut;
Memang benar Salim meminum air susu Sahlah binti Suhail pada saat sudah dewasa/baligh. Namun kasus Salim ini adalah bentuk kekhususan yang tidak bisa diberlakukan kepada kaum muslimin yang lain. Hal itu dikarenakan Salim adalah anak adopsi dalam keluarga suami istri Ahu Hudzaifah dan Sahlah binti Suhail. Mereka mengadopsi Salim saat masih kecil, dan belum turun ayat yang melarang kaum muslimin untuk mengadopsi anak. Lalu Salimpun tumbuh besar menjadi orang dewasa, sementara dia diposisikan seperti anak kandung Sahlah dan Abu Hudzaifah. Memahami kasus Salim sebagai syariat khusus untuk rumah tangga Abu Hudzaifah dan Sahlah adalah pemahaman istri-istri Nabi selain Aisyah. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (7/ 360)
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ أَنَّ أُمَّهُ زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّهَا أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَقُولُ أَبَى سَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ أَحَدًا بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ وَقُلْنَ لِعَائِشَةَوَاللَّهِ مَا نَرَى هَذَا إِلَّا رُخْصَةً أَرْخَصَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَالِمٍ خَاصَّةً فَمَا هُوَ بِدَاخِلٍ عَلَيْنَا أَحَدٌ بِهَذِهِ الرَّضَاعَةِ وَلَا رَائِينَا
dari Ibnu Syihab bahwa dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abu ‘Ubaidah bin Abdullah bin Zam’ah bahwa ibunya yaitu Zainab binti Abu Salamah telah mengabarkan kepadanya, bahwa ibunya yaitu Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata; Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam enggan memberi kebebasan masuk rumah mereka bagi anak-anak yang telah dijadikan mahram karena susuan. Dan kami berkata kepada Aisyah; Demi Allah kami tidak melihat hal ini kecuali hanya sekedar Rukhshoh/keringanan yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khusus untuk Salim, oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang mahram kerena susuan yang boleh masuk ke rumah kami dan melihat kami. (H.R.Muslim)
Dalam riwayat Abu Dawud, lafadznya berbunyi;
سنن أبى داود – م (2/ 180)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَأُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ كَانَ تَبَنَّى سَالِمًا وَأَنْكَحَهُ ابْنَةَ أَخِيهِ هِنْدَ بِنْتَ الْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَهُوَ مَوْلًى لاِمْرَأَةٍ مِنَ الأَنْصَارِ كَمَا تَبَنَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَيْدًا وَكَانَ مَنْ تَبَنَّى رَجُلاً فِى الْجَاهِلِيَّةِ دَعَاهُ النَّاسُ إِلَيْهِ وَوُرِّثَ مِيرَاثَهُ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِى ذَلِكَ ( ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ) إِلَى قَوْلِهِ (فَإِخْوَانُكُمْ فِى الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ) فَرُدُّوا إِلَى آبَائِهِمْ فَمَنْ لَمْ يُعْلَمْ لَهُ أَبٌ كَانَ مَوْلًى وَأَخًا فِى الدِّينِ فَجَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو الْقُرَشِىِّ ثُمَّ الْعَامِرِىِّ – وَهِىَ امْرَأَةُ أَبِى حُذَيْفَةَ – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا وَكَانَ يَأْوِى مَعِى وَمَعَ أَبِى حُذَيْفَةَ فِى بَيْتٍ وَاحِدٍ وَيَرَانِى فُضْلاً وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِمْ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَكَيْفَ تَرَى فِيهِ فَقَالَ لَهَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَرْضِعِيهِ ». فَأَرْضَعَتْهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ فَبِذَلِكَ كَانَتْ عَائِشَةُ – رضى الله عنها – تَأْمُرُ بَنَاتِ أَخَوَاتِهَا وَبَنَاتِ إِخْوَتِهَا أَنْ يُرْضِعْنَ مَنْ أَحَبَّتْ عَائِشَةُ أَنْ يَرَاهَا وَيَدْخُلَ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ ثُمَّ يَدْخُلَ عَلَيْهَا وَأَبَتْ أُمُّ سَلَمَةَ وَسَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَرْضَعَ فِى الْمَهْدِ وَقُلْنَ لِعَائِشَةَ وَاللَّهِ مَا نَدْرِى لَعَلَّهَا كَانَتْ رُخْصَةً مِنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- لِسَالِمٍ دُونَ النَّاسِ
dari Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta Ummu Salamah bahwa Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah bin Abdu Syams pernah mengangkat Salim sebagai anak, dan menikahkannya dengan anak saudaranya yaitu Hindun binti Al Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah, sementara Salim adalah mantan budak seorang wanita anshar, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat Zaid sebagai anak. Dahulu pada masa jahiliyah orang yang mengangkat seseorang sebagai anak, maka orang-orang memanggilnya dengan menisbatkannya kepadanya dan diberi warisannya hingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu mengenai hal tersebut: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” Kemudian mereka dikembalikan nasabnya kepada bapak-bapak mereka, sedangkan yang tidak diketahui ayahnya maka ia adalah seorang maula dan saudara seagama. Kemudian Sahlah binti Suhail bin ‘Amr Al Qurasyi Al ‘Amiri yang merupakan isteri Abu Hudzaifah datang dan berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami melihat Salim masih kecil, dan ia tinggal bersamaku dan bersama Abu Hudzaifah dalam satu rumah. Ia melihatku dalam keadaan memakai pakaian harian dalam rumah, sedangkan Allah ‘azza wajalla telah menurunkan wahyu yang engkau mengerti, maka bagaimana pendapat engkau dalam hal tersebut? Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Susuilah dia!” Lalu Sahlah menyusuinya lima kali susuan, maka Salim sama seperti anaknya sepersusuan. Oleh karena itu Aisyah memerintahkan anak-anak wanita saudari-saudarinya serta anak-anak wanita saudara-saudaranya agar menyusui orang yang ia ingin melihat serta menemuinya walaupun ia adalah orang dewasa sebanyak lima kali susuan, kemudian orang tersebut dapat menemuinya. Sedangkan Ummu Salamah dan isteri-isteri Nabi yang lain menolak memasukkan seseorang kepada mereka dengan persusuan tersebut kecuali menyusu pada saat masih bayi. Dan mereka berkata kepada Aisyah; demi Allah, kami tidak tahu, kemungkinan hal tersebut merupakan keringanan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Salim, bukan orang selainnya. (H.R.Abu Dawud)
Pendapat istri-istri nabi ini juga menjadi pendapat para Shahabat dan Jumhur ulama. Pendapat jumhur ini lebih kuat, karena jika pendapat yang mengatakan tidak ada batasan waktu maksimal persusuan diikuti, maka pendapat tersebut bertentangan dengan Nash Al-Quran dan hadis yang jelas memberikan batasan sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Ulama-ulama yang berpendapat tidak ada batasan waktu maksimal persusuan diantaranya adalah Aisyah, Atho’, Dawud, Al-Laits, dan Ibnu Hazm.
Jadi, sekali lagi disimpulkan bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan waktu maksimal persusuan yang berkonsekuensi hukum adalah dua tahun, bukan 30 bulan, atau tiga tahun, atau tidak ada batasan waktu maksimal.
Patut dicatat, bahwa yang menjadi standar pengukuran adalah waktu dua tahunnya, bukan aktivitas penyapihannya. Artinya jika bayi disapih usia 3 tahun misalnya, maka sejak usia 2 tahun sudah hilang hukum-hukum persusuan. Jika di sapih pada usia 1 tahun, maka masih ada waktu satu tahun yang membuat hukum-hukum persusuan berlaku.
Dasar ketentuan ini adalah karena Al-Quran menyebut standarnya adalah tahun, bukan aktivitas penyapihan. Allah berfirman;
{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} [البقرة: 233]
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (Al-Baqoroh; 233)
Ibnu Mas’ud juga berfatwa demikian. Malik meriwayatkan;
موطأ مالك (4/ 0)
عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy’ari; “Saya pernah menetek pada payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahram kamu.” Abdullah bin Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan kepada lelaki ini! ” Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa dua tahun.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah kalian menanyakan suatu perkara kepadaku selama orang alim ini (Ibnu Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.”
Adapun hadis yang mengesankan bahwa standarnya adalah aktivitas penyapihan, misalnya riwayat Tirmidzi berikut;
سنن الترمذى (4/ 374)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
dari Umu Salamah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Persusuan tidak bisa menjadikan mahram, kecuali (susuan) yang membelah usus (mengenyangkan) pada payudara dan terjadi sebelum disapih.” (H.R.At-Tirmidzi)
Maka,maksud Fithom (penyapihan) dalam hadis di atas adalah penyapihan dalam waktu dua tahun sebagaimana dalam Al-Qur’an dinyatakan penyapihan dilakukan dalam usia 2 tahun. Artinya yang dimaksud adalah waktunya bukan aktivitas Fithomnya, karena ini adalah jenis penyebutan Taghlib(umumnya).
Jadi, Jika seorang lelaki meminum air susu istrinya, maka tidak ada konsekuensi hukumRodho’ah/persusuan apapun karena dua syarat yang disebutkan tidak terealisasi semuannya. Boleh jadi seorang lelaki telah meminum susu dari istrinya lebih dari lima kali, namun karena umumnya suami adalah sudah dewasa (berusia di atas dua tahun), maka hukum persusuan masih belum bisa diberlakukan. Dikecualikan jika suami memang berusia dibawah dua tahun. Dalam kondisi ini, jika jumlah susuannya sudah mencapai lima, maka berlakulah hukum-hukum persusuan. Istri dari suami bayi tersebut statusnya menjadi ibu susu, sehingga pernikahan menjadi rusak dan harus dibubarkan.
Adapun pendapat yang mengharamkan meminum air susu wanita dengan alasan bahwa air susu adalah bagian tubuh manusia, dan bagian tubuh manusia itu terhormat yang haram dimanfaatkan, maka pendapat ini sulit diterima, karena alasan ini bukan dalil dan penilaian yang kurang tepat terhadap fakta air susu. Pendapat ini tertolak berdasarkan dalil keumuman mubahnya benda selama tidak ada dalil yg mengharamkan. Pendapat ini juga tertolak berdasrakan fatwa Shahabat, karena Shahabat tidak mencela lelaki yang menghisap air susu istrinya dan menelannya. Malik meriwayatkan;
موطأ مالك (4/ 0)
عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ
إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy’ari; “Saya pernah menetek pada payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahram kamu.” Abdullah bin Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan kepada lelaki ini! ” Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa dua tahun.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah kalian menanyakan suatu perkara kepadaku selama orang alim ini (Ibnu Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.” (H.R.Malik)
Pendapat ini juga tertolak dengan kasus bayi yang memang secara alami menyusu, juga tertolak dengan dalil bolehnya memaafkan kasus jinayat yang darinya digali; Mubah donor tubuh, juga tertolak dengan fakta pemilik bagian tubuh yang boleh memanfaatkan bagian tubuhnya, sehingga bisa difahami bahwa orang lain juga boleh memanfaatkannya jika bagian tubuh tersebut telah dipinjamkan, diberikan atau dibuang (seperti kuku, rambut misalnya), juga tertolak dengan fakta Ruqyah memakai semburan ludah yang merupakan jenis intifa’ /pemanfaatan dengan ludah, juga tertolak dengan riwayat hadis keringat nabi yg dijadikan parfum.
Adapun pendapat yang memakruhkan meminum air susu wanita dengan alasan hal tersebut termasukMukholafah Fithroh (bertentangan dengan fitrah), maka pendapat ini juga sulit diterima karena hukum makruh harus ditetapkan dengan dalil, bukan perasaan subyektif Mukallaf.
Atas dasar ini, Mubah hukumnya meminum air susu istri baik disengaja maupun tidak, untuk kepentingan Istimta’ (bersenang-senang), Tadawi (berobat) atau kepentingan-kepentingan lain yang dibenarkan Syara’ dan tidak ada konsekuensi hukum Rodho’ah/persusuan apapun. Wallahua’lam.
0 comments:
Post a Comment